Saturday 17 December 2011

Resensi Novel Burung-Burung Manyar

www.agusdimansyaputra.blogspot.com
Judul Buku      : Burung-burung Manyar
Penulis             : Yusuf Biliarta Mangunwijaya
            Penerbit           : Djambatan, Jakarta
Cetakan           : Ke-11, Agustus 2001
Tebal               : 262 halaman
Dari sejak kecil Setadewa dan Larasati berteman akrab. Ayah Setadewa bernama Brajabasuki, seorang kapten pada Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL), tentara Kerajaan Hindia Belanda. Ibunya bernama Marice, seorang perempuan keturunan. Setadewa lahir sebagai anak Kolong, anak serdadu yang tinggal di tangsi. Setadewa mempunyai nama panggilan Teto, sedangkan Larasati dengan nama Atik.
Waktu Setadewa kecil, Kapten Brajabasuki hilang tak berjejak ketika zaman kependudukan Jepang. Kemudian Marice menjadi gundik tentara Jepang, meski ia tak menginginkannya. Namun ia terpaksa oleh keadaan, kalau tidak mau menjadi gundik tentara Jepang, maka suaminya, ayah Teto akan mati.
Setelah dewasa, Teto berkeinginan memilih menjadi tentara Belanda. Ia menemui Mayoor Verbruggen dengan disertai membawa surat ibunya. Ternyata Mayoor Verbruggen adalah mantan kekasih ibunya waktu dulu. Alasan Teto memilih menjadi tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) adalah kemarahannya yang terpendam kepada Jepang yang telah memaksa ibunya menjadi gundik. Ia juga berpikiran bahwa orang-orang yang menentang Belanda adalah pengkhianat, termasuk orang-orang Republik.
Sementara itu, Atik adalah seorang gadis nasionalis yang sangat membenci orang-orang Belanda. Bahkan, ia bekerja sebagai relawan administrasi di sebuah lembaga milik pemerintah Indonesia. Meskipun begitu, Teto tetap mencintai Atik dan menghormati keluarga ayah Atik, Antana.
Ketika pertempuran terjadi, dan akhirnya penjajah Belanda kalah, setelah itu Teto hengkang dari negeri Indonesia. Ia berubah profesi menjadi ahli komputer dan bekerja sebagai manajer produksi Pasific Oil Wells Company. Suatu saat, Setadewa kembali ke Indonesia dan tanpa direncanakan ia bermaksud menghadiri ujian disertasi Atik. Pada acara tersebut, dia tidak menemui Atik. Justru Atik dan suaminya, Janakatamsi, yang mengunjungi Teto di tempat ia menginap. Atik mengajak Teto ke rumahnya untuk bertemu dengan Bu Antana, yang kemudian meminta agar Teto bersedia menjadi seorang kakak bagi Atik.
Akhirnya, suatu kecelakaan merenggut nyawa Atik dan Janakatamsi, suaminya, ketika mereka berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah. Pesawat Martiair yang ditumpangi Atik dan Jana menabrak sebuah bukit di dekat Kolombo, Sri Lanka. Jadilah ketiga anak mereka yatim piatu. Kemudian Setadewa menganggap ketiga anak Atik dan Jana sebagai anak-­anaknya sendiri. Teto pun tak menikah lagi. Baginya, cukup Bu Antana yang menjadi ibu sekaligus nenek bagi ketiga anak itu.
***
Pada tahun 1983, Novel yang berjudul Burung-
Burung Manyar ini memperoleh sebuah penghargaan dari South East Asia Write Award, Thailand. Ia juga telah diterjemahkan ke dalam tiga bahasa asing: Jepang, Belanda, dan Inggris. Dengan itu, karya Mangunwijaya ini memiliki salah satu kekuatan tersendiri, dari beberapa faktor non-literer lainnya.
Kekuatan lainnya yang dimiliki oleh karya Y.B Mangunwijaya adalah Prawayang, yang tidak banyak dimiliki oleh novel-novel lain. Novel ini pun bisa dianggap sebagai novel sejarah yang menggambarkan kondisi bangsa Indonesia pada tiga zaman: pertama, masa penjajahan Belanda; kedua, masa pendudukan bangsa Jepang; dan yang ketiga, masa kemerdekaan bangsa Indonesia dan sesudahnya.
Dalam roman ini Mangunwijaya secara tidak langsung melukiskan rentetan peristiwa kesejarahan di Tanah Air. Burung-burung Manyar terbagi menjadi tiga periode sejarah Indonesia. Pertama, kurun warsa 1933-1944, rangkaian waktu di mana para pejuang bangsa Indonesia kala itu sangat gigih melawan para penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang, terutama pada masa kependudukan Jepang, dimana banyak perempuan menjadi budak seks serdadu Jepang, yang sekarang ini dikenal dengan Jugun Lanfu.
Kedua, warsa 1945-1950, ketika bangsa Indonesia telah memperoleh ‘kemerdekaan’. Dan ketiga, warsa 1968-1978, masa ketika Orde Baru berkuasa. Karena pernah mengalami ketiga zaman itu, sangat wajar jika Mangunwijaya begitu piawai menulis sehingga menghasilkan karya ini.
Cerita pada novel ini berpusat pada Teto, sehingga mayoritas ceritanya berkitar-kitar pada kehidupan privat Teto dan pergumulan batinnya. Di beberapa bagian cerita, Atik memang diceritakan, akan tetapi naratornya bukan orang pertama, melainkan orang ketiga. Sejak awal cerita, Mangunwijaya langsung mengajak pembaca untuk berdialog. Konflik kejiwaan macam apa yang dialami si tokoh yang menyebut dirinya Aku?. Hal itu membentang sepanjang lima belas bab novel ini, dari jumlah keseluruhan dua puluh dua bab. Bagian pertama terdiri dari empat bab, bagian kedua terdiri sembilan bab, dan bagian ketiga terdiri sembilan bab juga.
Pada bagian kedua cerita ini, Mangunwijaya dalam menentukan judul babnya selalu menggunakan kiasan dari nama-nama binatang, seperti: harimau, merpati, singa, banteng, macan tutul, elang, dan lain-lain.
Y.B Mangunwijaya dalam menulis ceritanya tidak menempatkan Setadewa pada satu sisi saja. Setadewa tidak melulu menyombongkan dirinya, tetapi ia juga menceritakan sisi buruk dirinya, terlebih ketika ia mengakui bahwa Janakatamsi, suami Atik adalah lelaki yang baik, bahkan lebih darinya. Termasuk juga kegagalan pernikahannya dengan perempuan bernama Barbara, yang lebih memilih berpisah darinya. Sedangkan alur cerita yang dibangun oleh Mangunwijaya adalah alur spiral. Ada waktu yang saling berhimpitan antara waktu cerita yang dialami oleh para tokoh yang diceritakan. Berbagai waktu cerita kemudian bertemu dalam satu waktu cerita yang sama yang dialami oleh tokoh-tokoh protagonis.
Ada tiga dimensi pelukisan eksistensial tokoh Aku (Setadewa) bisa dipandang sebagai suatu tawaran wacana bertalian dengan jati diri bangsa Indonesia, yakni: pertama, alam binatang, dalam cerita hal ini diwakili atau disimbolkan oleh burung manyar. Kedua, manusia sebagai tokoh, dalam hal ini diperankan oleh Setadewa dan Larasati. Dan ketiga, bangsa Indonesia, yaitu sebagai bangsa dengan tekanan pada kualitas hidup dan kualitas generasi yang akan datang.
Di awal cerita, sebelum kita memasuki bab pertama Burung-burung Manyar (BBM), kita disuguhi dengan sebuah cerita Prawayang. Ada keterkaitan antara tokoh-tokoh yang ada dalam Prawayang dengan tokoh-tokoh dalam cerita itu. Tidak banyak karya-karya fiksi Indonesia yang mengadopsi dunia pewayangan dalam cerita-ceritanya. Ada kemiripan nama tokoh, tempat, dan jalan cerita antara Prawayang yang disuguhkan oleh Y.B Mangunwijaya dengan cerita Burung-burung Manyar.
Beberapa nama tokoh dalam cerita BBM mirip dengan nama-nama tokoh cerita wayang Mahabharata. Seperti nama Larasati sejajar dengan nama Rarasati atau Larasati dalam cerita wayang Mahabarata. Ayah Larasati dalam BBM bernama Antana, sedang dalam Mahabarata Ayah Rarasati bernama Raden Antagopa.
Begitu pula nama Setadewa, yang mempunyai keselarasan nama dan nasib dengan Baladewa, seorang tokoh dalam pewayangan Mahabharata yang dikenal sebagai tokoh yang tersingkir dari lingkungannya. Baladewa dan Setadewa keduanya adalah tokoh yang berani menanggapi sesuatu dengan spontan. Keduanya juga memiliki rasa keadilan yang tinggi, dan sama-sama tokoh yang terpelajar dan berani berbeda pendapat. Mereka sama-sama mangkir dari tanah kelahirannya demi orang yang dikasihi, jika Baladewa memihak Kurawa ketimbang Pandawa, Setadewa memihak Belanda ketimbang Indonesia. Baladewa lebih memihak Kurawa karena kecintaannya pada istri dan mertuanya, sedangkan Setadewa lebih memihak Belanda karena kecintaannya pada ibunya.
Suami Atik, Janakatamsi memiliki hubungan pertalian nama dengan Janaka alias Arjuna dalam dunia pewayangan. Keduanya memiliki sifat yang sama, pendiam, halus, dan cerdas. Yang membedakan keduanya adalah jumlah istri. sementara Arjuna alias Janaka beristri lebih dari satu orang, Janakatamsi hanya beristri satu orang, yaitu Larasati (Atik).
Roman ini bisa jadi merupakan sebuah biografi kehidupan Setadewa, karena pada akhir cerita ini, tercantum tanda tangan Setadewa dan tertulis disitu: Magelang, 6 Mei 1979. Hal tersebut seakan hendak menandakan bahwa keseluruhan penceritaan dalam roman dilakukan oleh Setadewa.
Setadewa, merupakan seorang tokoh utama yang di awal diceritakan sebagai tokoh yang berandal dan pemberontak, akhirnya bisa menjadi sesosok tokoh yang mempunyai sifat rendah hati dan sangat manusiawi. Setadewa tak menafikan bahwa ia telah keliru menyamakan bangsa Indonesia dengan bangsa Jepang, dan akhirnya ia mengakui bangsa Indonesia sebagai ibu kandungnya. Untuk sampai pada titik itu, ia melewati dinamika psikologis yang pedih dan berat baginya. Inilah yang menjadikannya sebagai tokoh yang digambarkan dengan lengkap, seorang tokoh yang punya sifat-sifat manusia.
Ada pertalian cerita roman ini dengan kebiasaan yang dilakukan oleh burung manyar, sebagaimana tertulis dalam disertasi Atik yang berjudul Jati Diri dan Bahasa Citra dalam Struktur Komunikasi Varietas Burung Ploceus Manyar.
Atik menjelaskan kehidupan satwa tersebut dengan detil. Menjelang dewasa, burung manyar jantan berlomba merakit sarang yang paling indah agar dipilih burung manyar betina. Sementara manyar jantan membuat sarang, manyar betina hanya berleha-leha, sambil sesekali memerhatikan si manyar jantan membangun sarang. Setelah selesai membangun sarang, burung manyar betina memilih sarang yang paling mereka sukai, dan manyar jantan yang tidak terpilih sangat kecewa dan membuang begitu saja sarang yang telah dibangunnya dengan susah payah. Akan tetapi, meskipun tidak terpilih, burung manyar jantan itu tidak putus asa. Dicarinya lagi alang-alang, daun tebu, dan lalu ia merakit lagi sarangnya sembari berharap kali ini ada seekor manyar betina yang terpikat dengannya.
Manyar jantan bisa diumpamakan seperti Setadewa yang tidak terpilih. Kesedihan dan kegagalan yang dialami oleh manyar jantan setidaknya juga dialami oleh Setadewa ketika mengetahui bahwa Atik yang selama ini diidamkannya telah menjadi milik orang lain. Sebagaimana burung manyar jantan, ia tidak putus asa. Ia mencoba untuk bangkit lagi untuk membangun sarang yang menarik. Setadewa kemudian menjadi kakak angkat bagi Atik dan pada akhirnya merawat anak-anak Atik yang menjadi yatim piatu.
Salah satu hal yang sangat menyentuh dalam roman ini adalah Setadewa yang sangat menjaga kesetiaan dan cintanya pada Atik. Puluhan tahun perpisahan, dan Atik yang telah menikah dengan Janakatamsi, tak membikin ia surut dalam memandang Atik sebagai kekasihnya. Demikian juga pada Atik. Ia masih mencintai Setadewa. Suami Atik, Janakatamsi yang mengungkapkan hal itu kepada Setadewa. Janakatamsi sendiri tidak pernah merasa menikah dengan Atik, meski mereka telah punya tiga orang anak. Konflik-konflik jiwa semacam itu, sampai taraf tertentu, adalah sebuah tragedi. Meski saling mencintai, Setadewa dan Larasati tetap teguh dengan pilihan masing-masing, sembari tetap menghormati pilihan, meski dalam hati nurani mereka, keduanya ingin agar mereka bisa sejalan.
Tokoh utama, baik Atik maupun Teto, keduanya bukanlah tokoh statis, dalam arti lurus-lurus saja dari awal sampai akhir cerita. Berpuluh tahun setelah mereka berdua berpisah, baik Atik maupun Setadewa membuka mata untuk menerima masukan lain.
Menurut saya, Teto tetap sebagai pecundang. Apalagi Mangunwijaya dengan gamblang melukiskan hubungan Atik dan Jana yang kekal sampai “maut memisahkan mereka”. Pembaca kebanyakan mungkin akan lebih simpati kepada Teto, karena lebih manusiawi, ada sisi baik, ada sisi buruk.
Dalam roman ini kita juga dapat melihat bagaimana perilaku manusia Indonesia pada setiap kurun waktu. Ada yang membela Jepang, ada yang memilih merdeka seperti halnya yang diinginkan oleh Atik, atau ada juga yang membela Belanda dan menjadi serdadu Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Y.B Mangunwijaya dengan novelnya ini menyampaikan masalah yang sangat kompleks. Karyanya melibatkan berbagai tokoh dengan karakter berbeda-beda. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam karya itu berasal dari berbagai kelas sosial yang tidak sama. Di dalamnya ada tokoh yang keturunan kaum bangsawan, ada tokoh yang berpendidikan, ada tokoh pembantu rumah tangga yang tak berpendidikan, ada juga tokoh yang mewakili masyarakat kelas bawah dan sebagainya. Oleh karena itu, maka digunakanlah lebih dari satu bahasa.
Tokoh Setadewa, yang banyak bergaul dengan orang-orang Belanda, misalnya, harus mampu berbahasa Inggris dan berbahasa Belanda, sedangkan tokoh Larasati harus mampu menggunakan istilah khusus bidang biologi. Penggunaan bahasa Belanda oleh Setadewa pada bagian pertama cerita dalam BBM itu tidak digunakan lagi pada bagian ketiga novel itu. Perbedaan penggunaan bahasa asing pada bagian pertama dan pada bagian ketiga merupakan penggunaan bahasa yang sudah diperhitungkan oleh penulis.
Share on :

0 comments:

Post a Comment

 
© Copyright Agus Diman Syaputra 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all